suka geli sendiri kalo mengingat kembali rencana hidupku selama ini...
katakanlah
waktu aku merencanakan untuk tinggal dimana (waktu beli rumah
pertama).. dengan konsep "zero traffic" seperti yang sering diarahkan
oleh professor universitas ternama di bandung maka aku memilih sebuah
rumah sangat sederhana sekali ketemu lagi ketemu lagi (RSSKLKL) di
pinggiran kabupaten bandung. aku waktu itu merencanakan sekalipun rumah
itu di pinggiran namun dekat dengan pusat kegiatan keluarga seperti
sekolah, pasar dan tempat olahraga. aku pikir keluargaku tidak perlu
keluar melewati jalan arteri untuk mencapai tempat-tempat yang
dibutuhkan itu dan kesemuanya bisa dicapai dengan berjalan kaki ato
bersepeda seperti yang kami sekeluarga biasa lakukan selama dua tahun
tinggal di yogya.. (saat merencanakan itu anakku no 1 dan ke 2 masih SD,
yang ketiga belom lahir)..
kenyataannya setelah aku menetap
disana, anak-anak ga ada yang mau sekolah di deket rumah, mereka lebih
suka keluar dengan pertimbangan sekolah yang jauh lebih berkualitas dan
lebih keren.. mamanya anak-anak juga ga suka berbelanja di pasar yang
deket, dia sukanya belanja di tempat yang lebih nyaman.. alhasil konsep
"zero traffic" pun cuma sebatas angan-angan saja.. hehe..
dalam
kondisi seperti itu aku sering kepikiran, ternyata emang sulit sekali
mengaplikasikan sebuah rencana karena memang pada akhirnya faktor
lingkungan akan berpengaruh demikian besarnya, selain itu pula
kenyataannya setiap manusia punya keinginan yang rasanya sih takkan ada
seorangpun yang bisa menebaknya.. dan keinginan-keinginan itupun
seharusnya didukung karena positif thingking nya tidak ada seorang pun
yang menginginkan keburukan untuk dirinya, jelas setiap kita
menginginkan yang terbaik untuk diri kita masing-masing... aku sendiri
tidak mau begitu saja disalahkan oleh keluarga yang misalnya memilih
rumah kok di kampung, yang kurang prospektif. aku juga gini-gini juga
master transportasi loh! aku sudah mempertimbangkan semua itu dengan
berkaca pada perusahaan cokelat di swiss yang menempatkan pusat-pusat
produksinya di tempat yang jauh dari keramaian dengan pertimbangan
faktor ekonomi dan konsentrasi pengembangan kualitas produk.. lagipula
menurut pandangan aku, tinggal di kota lebih banyak mudharatnya daripada
benefitnya, misalnya kita akan banyak terganggu kebisingan, polusi,
godaan untuk sering jalan-jalan, dan yang lebih parah adalah kualitas
hidup juga rendah.. ingat bahwa menurut penelitian ItB, "80% sumur di
wilayah Bandung Kota tercemar bakteri e-coli"...
kalo
ngomong gitu yaa mungkin yang tinggal di kota pada kesel sama saya..
mungkin aja mereka bilang "ah! elo aja yang ga mampu beli rumah di kota
makanya ngoceh sembarangan!"... iya iya dech.. emang gw mah udah norak,
jelek, bokek, idup lagi.. elo2 orang deh yang bener dan cerdas semua..
hehe
lagian yang begituan ga usah terlalu difikirin,
rencana yang tinggal rencana itu bukan cuman kita doang yang ngalamin..
aku sendiri pernah ndenger pensiunan pejabat jawa barat jaman orde baru
yang cerita tentang rencana pengembangan provinsi kita tercinta (jawa
barat) dulu.. segala macem studi dilaksanakan sampe studi banding ke
mancanegara, rencana ini, rencana itu disusun.. dalam prakteknya mah
hampir semua ga terealisir karena banten kemudian memisahkan diri...
liat
lagi case DKI Jakarta yang dalam rencana induk tata ruangnya dulu ga
pernah nyebut-nyebut masalah bus way and tokh kemudian ketika
direalisasikan malah banyak mangfaatnya...
liat juga skup yang
lebih besar, katakanlah di dunia internasional.. rencana segala macem
dibikin yang konon kabarnya untuk kesejahteraan seluruh umat manusia..
kata yang negatif tihing2 mah : "ah! tetep aja cuman nguntungin negara
adidaya aja, negara miskin mah tetep aja dalam posisi berkembang.. dan
yang berkembang terus mah jelas utangnya doang!"...
melihat
case-case itu mungkin kemudian sebagian (besar) dari kita ga terlalu
mempedulikan arti penting rencana.. sekalipun kata para perencana
"segalanya berawal dari sebuah rencana" tapi sapa yang mo ndengerin..
lha wong kemudian setiap kita jalan sendiri-sendiri.. yaaa terserah aja
dech, pada gilirannya akan kembali ke persepsi masing-masing, mo
direncanakan dengan matang, mo gimana besok, suka-suka Anda aja dech..
yang perlu kita sadari adalah seperti kata temen saya yang cerdas
(B'tri) "segala sesuatu ada resikonya" dan menurut perspektif agama juga
suatu saat nanti tiba giliran dimana setiap kita akan diminta
pertanggungjawaban atas apa yang telah kita lakukan, saat dimana seorang
ayah tidak bisa menolong anaknya, saat seorang kekasih tidak
mempedulikan pujaan hatinya, saat dimana setiap kita sibuk memikirkan
keselamatan diri masing-masing....
============
buat
aku sendiri, ada sebagian yang aku rencanakan dengan sebaik-baiknya dan
aku "kawal" dengan sepenuh hati.. serta ada juga sebagian yang lain
yang aku lakukan sambil lalu (tidak begitu direncakan dan
dikendalikan)..yang jelas semuanya aku dedikasikan untuk mendukung
mereka yang aku kasihi.. dan dibalik semua itu aku meyakini dengan
seyakin-yakinnya bahwa ada kehendak yang lebih kuat yang mengendalikan
semua itu.. "the invisible hand" lah bahasa ciketing mah... hehehe...
moga Tuhan memberkati upaya kita baik yang direncanakan ato yang gimana nanti ajah.. amin 3x...