selamat datang di blog yang dikhususkan buat teman2 yang interest di bidang transportasi.....

(selaen transport juga gpp c.. sing penting happy! heheh)

Selasa, 18 Januari 2011

apakah kita perlu Standar Pelayanan ?

definisi standar pelayanan (sapenake dewe) adalah kurang lebih kesepakatan yang mengatur jenis dan mutu pelayanan yang berhak diperoleh seseorang... seseorang itu menurut pendapat saya boleh siapa aja dan dalam posisi apa aja, katakanlah warga negara, sebagai anak, isteri, suami, pokoknya apa aja yang disepakati untuk diperoleh....

selama ini yang sering diperbincangkan orang adalah standar pelayanan minimal bahkan ada aturan untuk menyusunnya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal,  dalam peraturan tersebut disebutkan definisi "Standar Pelayanan Minimal yang selanjutnya disingkat SPM adalah ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal". disebutkan pula bahwa "Pelayanan Dasar adalah jenis pelayanan publik yang mendasar dan mutlak untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam kehidupan sosial, ekonomi dan pemerintahan".

merujuk pada definisi dan penjelasan diatas, kalo kita ditanya apakah kita perlu menyusun standar pelayanan (minimal) ? kayaknya sich jawabannya adalah so pasti ! kenapa ? yaa.. gampangnya sich kalo kita semua sudah menyepakati pelayanan apa yang berhak diperoleh maka kita mudah menentukan mana hak kita mana yang bukan. sebagai contoh, jujur aja sampe sekarang saya masih bingung kalo ditanya "apa hak Anda sebagai warga negara?".. Yaa.. kalo Anda (pembaca) sich mungkin ga bingung, kalo saya mah dari dulu pusing tujuh keliling karena katakanlah di Undang-undang dasar kita disebutkan bahwa kita berhak mendapat pendidikan, mendapatkan penghidupan yang layak, fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara dan lain sebagainya tapi sampe sekarang buanyak sekali warga negara yang miskin dan dicuekin (dibaca: ditelantarkan) oleh negara... sampe sekarang juga sepengetahuan saya sich belom pernah ada yang nuntut ke negara tuch.... mungkin khan karena warga negara belom tau ukuran kesejahteraan itu semana, pendidikannya sampe dimana yang jadi tanggung jawab negara.. okey2 sekarang dah ada yang katanya 9 tahun... tapi sekolah gratis juga denger2 masih banyak yang membebani siswanya dengan iuran ini itu... bener ga yah ?

okey contoh lain, sepasang kekasih yang dimabuk cinta... ceritanya sang jejaka menjanjikan gadis pujaan hatinya untuk membahagiakan hidupnya suatu hari nanti jika mereka menikah.. ketika mereka telah menikah, sang kekasih yang udah jadi emak2 ini protes... "kenapa kang mas tidak membahagiakan dan mencukupi kebutuhan diriku seperti janji mu dulu?"..... sang suami tambah bingung karena menurut perasaannya dia udah memberikan segala kepemilikan dan usahanya untuk isteri tercinta tapi kok ga berterima kasih juga..... ini juga menegaskan bahwa ukuran standar pelayanan itu perlu disepakati dengan jelas dan rinci khan ? berapa mobil yang harus dimiliki oleh isterinya, berapa besar ukuran rumah yang harus dibangun dan disediakan oleh sang suami, berapa kali isteri melayani suaminya, berapa uang belanja yang harus disediakan de el el de es be adalah ukuran standar pelayanan yang harusnya disepakati sebelum mereka menikah ! (biar ga pada protes suatu hari nanti)....

iya sih.. kita orang-orang timur ini khan emang kadang sungkan (=malu2 kucing) kalo harus menuliskan kesepakatan-kesepakatan model begituh.. liat aja ketika seorang calon pegawai diwawancara, "berapa gaji yang Anda harapkan dari pekerjaan ini?" ..umumnya kita menjawab "terserah Anda aja deh yang penting cukup (buat beli ini itu)".... ketika ia diterima bekerja dan mendapatkan gaji, ia baru protes ato minimal ngegerundel "kenapa gaji gue cuman segini ?!".. saya berkeyakinan kalo pegawai itu menyampaikan protes kepada pimpinannya, si bos akan nanya balik "kenapa lo ga ngomong dari dulu ?!"

saya tidak mengatakan bahwa malu itu jelek karena saya juga meyakini bahwa "malu adalah sebagian dari iman" tapi tentu saja malu yang dimaksudkan disini adalah malu yang pada tempatnya, bukan yang malu-maluin. untuk hal-hal yang kira-kita membawa potensi "perselisihan" di masa mendatang ga da salahnya khan kalo kita menuliskan kesepakatan-kesepakatan standar pelayanan (kalo yang kira2 malu untuk dituliskan yaa diinget bersama aja) misalnya warga negara berhak mendapatkan air yang layak minum, kalo air ga layak minum maka kita boleh nuntut pemerintah... warga negara berhak mendapatkan kedamaian, kalo ada yang bikin keributan kita bisa telpon polisi sesuai motto mereka "to serve and protect", warga negara berhak mendapatkan KTP, kita ga usah repot-repot bolak balik ke RT, RW, kelurahan, Camat dll karena itu hak kita, aparat pemerintah yang harus mengantarkannya ke rumah kita..... ga usah jauh-jauh kita liat ke negara maju seperti Amerika yang standar pelayanannya diatur dengan jelas dan diketahui semua masyarakat sampe setiap masyarakat punya buku hak warga negara yang tebelnya mungkin sama dengan buku Harry Potter... di Malaysia aja yang beginian dah diatur, di Malaysia warga negara ga usah sibuk-sibuk bikin akte kelahiran dan KTP karena Pemerintah yang menyediakannya, bahkan bisa sekaligus jadi ATM !.. yaa tentu saja yang beginian harus dibarengi dengan kesadaran untuk membayar pajak.. jangan kayak penulis yang bisanya protes doang, pas diminta bayar pajak ngilang ! hehe


jadi jelas yach arti pentingnya standar pelayanan sekarang ? belom faham? silakan baca lagi dari atas sebelum melanjutkan bacanya :) <-- gaya banget ! :)

kayaknya sich kalo ada ukuran minimal harusnya ada maksimalnya juga ya ? makanya judul tulisan ini adalah standar pelayanan yang mencakup minimal dan maksimal... dengan pola fikir bahwa kebutuhan standar pelayanan ini adalah supaya kita-kita yang terlibat dalam suatu sistem tertentu ga pada bakalai (=berkelahi) suatu saat nanti karena memperebutkan pepesan kosong, beradu argumen bahwa ini ga sesuai, itu ga sesuai padahal ukuran kesesuaiannya juga ga pernah ada ....silakan Anda resapi, standar pelayanan maksimal juga rasanya perlu... kenapa perlu ? jawabannya adalah untuk melindungi hak pelayannya (yang memberikan pelayanan)...

katakankah isteri adalah yang menerima layanan, suami yang memberi pelayanan, dan katakanlah pelayanannya adalah memberi uang belanja dengan besaran Rp 5 juta perhari (kekecilan yah? gapapa namanya juga contoh)... jika 5 juta itu adalah ukuran kelayakan kehidupan isteri, maka kita juga perlu mempertimbangkan kesanggupan suaminya yang kemudian dijadikan standar pelayanan maksimalnya katakanlah Rp. 100 juta/hari.... jika suatu hari nanti suami hanya bisa memberi Rp 3 juta/hari maka isteri boleh menggugat cerai suaminya, dan jika suatu saat suami mendapat penghasilan Rp 500 juta per hari maka hak isteri untuk minta uang kepada suaminya hanya Rp 100 juta saja, sisanya ? yaa terserah suami dong.. mo jajan apa kek dengan 400 jutanya... suka2 dia lah...

supaya adil, contohnya kita balik, jika isteri jadi pelayan dan suami yang menerima pelayanan... katakanlah pelayanan isteri minimal adalah 5x nyuci dan nyetrikain baju suaminya per hari dan maksimal 10 baju per jam... jika suatu saat baju suaminya yang 5 lemari itu kotor semua, suami ga boleh memaksakan isterinya untuk nyuci dan nyetrika semuanya dalam satu jam beres semua... begitu dech....

gitu kira-kira pendapat saya mengenai standar pelayanan ini.. gimana pendapat Anda ? give me a respond, please :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar